Zaman klasik dan pertengahan
Sepanjang penelitian ada seorang sarjana polotik islam pertama yang menuangkan teori politiknya dalam suatu karya ilmiah yaitu Syihab Din Ahmad Ibn Rabi’, beliau adalah khalifah Abbasiyah kedelapan. Setelah itu munculllah pemikir-pemikir yang brillian seperti Farabi, Mawardi, Ghajali, Ibnu Taimiyah yang hidup setelah runtuhnya kekuasaan Abbasiyah, dan Ibnu khaldun yang hidup pada abad XIV masehi.
Ada dua ciri umum yang terdapat pada teori politik dari pemikir tersebut. Pertama, teori mereka tampak jelas adanya pengaruh alam pikiran Yunani, utamanya pada pandangan Plato, walaupun kualitas pengaruh itu tidak sama antara pemikir yang satu dengan pemikir yang lain. Kedua, kecuali Farabi, mereka mendasarkan teorinya pada penerimaan system kekuasaan yang ada pada zaman mereka.
Berikut ini diuraikan teori dari para pemikir-pemikir tersebut yang cukup representatif untuk mewakili pemikiran politik di dunia islam pada zaman klasik dan pertengahan:
1. Al-Farabi
Kehidupan farabi banyak terbenam dalam dunia ilmu sehingga tidak dekat dengan penguasa Abbasiyah. Teori politik Al-farabi tidak didasarkan pada system pemerintahan yang ada, melainkan pada objek yang sesuai pada idealismenya. Filasafat kenabian itulah yang tampak erat hubungannya dengan teori politiknya.
Sejalan dengan Plato, Aristoteles dan Ibnu Abi rabi’, farabi berpendapat bahwa manusia adalah mahluk social yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat lantaran tidak mungkin memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa melibatkan bantuan dan kerjasama dari orang lain. Kepemimpinan dapat tumbuh karena adanya keahlian dan pembawaan yang bisa mengarahkan orang untuk menegakkan nilai-nilai etis dan tindakan-tindakan yang mampu memelihara apa yang ada secara mantap.
Menurut Al-Farabi ada tiga macam masyarakat yang sempurna, yaitu: masyarakat sempurna besar, masyarakat sempurna sedang dan masyarakat sempurna kecil. Dari ketiga macam masyarakat itu, pusat perhatian Al-Farabi lebih terfokus pada masyarakat sempurna kecil yang disebut masyarakat kota atau Negara kota. Negara kota yang selanjutnya kita sebut sebagai Negara saja, menurut Farabi terdapat bermacam-macam Negara, yaitu: Negara utama, Negara bodoh, Negara rusak, Negara merosot serta rumpun-rumpun jahat.
Dalam rangka merealisir Negara utama, Farabi memfokuskan perhatiannya pada Kepala Negara. Kedudukan kepala Negara sama dengan kedudukan jantung bagi badan yang merupakan sumber koordianasi. Sejalan dengan itu, kriteria seorang kepala Negara harus memenuhi kualitas luhur, yaitu: lengkap anggota badannya, baik inteligensinya, mutu intelektualitasnya, pandai mengemukakan pendapatnya, dan mudah dimengerti, pecinta pendidikan dan gemar mengajar, pecinta kejujuran, tidak loba, berbudi luhur, tidak diutamakan keduniaan, bersifat adil, optimisme dan besar hati, kuat pendiriannya, penuh keberanian, antusiasme, dan tidak berjiwa kerdil. Farabi juga menambahkan pentinganya suatu kepala Negara untuk membersihkan jiwanya dari berbagai aktivitas hewani, seperti korupsi, manipulasi, tirani, pemerintahan fasik, pemerintahan apatis dan pemerintahan yang sesat.
2. Al- Mawardi
Mawardi adalah seorang pemikir islam yang terkenal terutama di bidang Fiqh Siyasah, tokoh utama mahzab Syafi’i, pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah. Mawardi juga seorang penulis buku yang produktif, mulai dari ilmu bahasa, sastra, tafsir sampai dengan ketatanegaraan. Salah satu karyannya tentang ketatanegaraan yang cukup hangat sambutannya di dunia isalm adalah al-ahkam al suthaniah.
Mawardi juga berpendapat bahwa manusia itu merupakan mahluk social, yang saling bekerjasama dan membantu satu sama lain, tetapi ia memasukkan agama dalam teorinya. Dari sinilah akhirnya manusia sepakat untuk mendirikan Negara. Dengan demikian, adanya Negara adalah melalui kontrak social atau perjanjian atas dasar sukarela. Karena itu Mawardi berpendapat, bahwa kepala Negara merupakan lingkup garapan khalifah kenabian di dalam memelihara agama dan mengarur dunia dan mengesahkannya.
Berbeda dengan Farabi yang teorinya secara idealistik, sedangakan mawardi mendasarkan pada teori politikya secara realistik. Dalam pemerintahan Mawardi tetap mempertahankan Kepala Negara harus berbangasa Arab dari suku Quraisy. Dan perlu diingat bahwa Mawardi menekankan etnis arab adalah dilatarbelakangi oleh situasi politik saat itu. Upaya Mawardi mempertahankan etnis Quraisy, secara kontekstual interpretative dapat dikatakan, bahwa hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Maka mengutamakan etnis Quraisy memang bukan ajaran dasar agama islam yang dibawa Rasulullah, karena itu hadist-hadist yang mengutamakan etnis Quraisy harus dipahami sebagai ajaran yang bersifat temporal.
Menurut Mawardi yang berwenang memilih Kepala Negara adalah lembaga legislatif (abl al-ikhtiar), mereka dipersyaratkan: memiliki keadilan, memiliki pengetahuan dan mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi Kepala Negara, dan memiliki wawasan yang luas yang memungkinkan mereka memilih siapa yang paling tepat menjadi kepala Negara.
3. Al- Ghazali
Sama dengan ilmuwan-ilmuwan sebelumnya, Ghazali juga berpendirian bahwa manusia itu merupakan mahluk sosial. Manusia tidak bisa hidup karena dua faktor: pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia. Kedua, saling membantu dalam menyediakan kebutuhan hidup, seperti makanan, pakaian dan pendidiakan.
Bagi Ghazali, profesi politik meliputi empat departemen:
• Departemen agama untuk menjamin kepastian akan hak atas tanah
• Departemen pertahanan dan keamanan untuk menjamin keamanan dan pertahanan Negara
• Departemen kehakiman, dan
• Departemen kejaksaan
Teori kepemimpinan Negara
Menurut Ghazali, dunia adalah ladang untuk mengumpulkan perbekalan untuk kehidupan akhirat, dunia sebagai wahana untuk mencari ridha Tuhan. Berlandaskan pemikiran semacam itu, Ghazali menyatakan bahwa kewajiban mengangkat seorang kepala Negara bukanlah berdasarkan rasio, tetapi berdasarkan keharusan agama. Agama adalah fundamen sementara penguasa adalah pelindungnya. Maka konsekuensi logis dari teori ini, Ghazali tidak memisahkan antara agama dan Negara. Ghazali justru menunjukkan sebaliknya antara agama dengan Negara bagaikan saudara kembar. Dengan demikian agama bukan hanya mengatur kehidupa individual, melainkan juga kehidupan kolektif.
Syarat-syarat kepala Negara sama dengan syarat-syarat untuk menjadi hakim, ditambah dengan atribut keturunan Quraisy. Syarat itu adalah: merdeka, laki-laki, mujtahid, berwawasan luas, adil, dewasa, bukan wanita, anak-anak, orang fasik, orang jahil dan pembeo.
4. Ibn Taimiyah
Ibnu Taimiah hidup pada masa dunia islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi moral, dimana kekuasaan tidak lagi di tangan khalifah yang berada di Bagdad, melainkan oleh penguasa lokal. Jatuhnya Bagdad ke tangan Tartar mengakhiri dinasti Abbasiyah dan ini merupakan klimaks proses disintegrasi. Ia memandang bahwa teori khilafah tidak mampu memenuhi tujuan pemerintahan dalam islam. Oleh karena itu Taimiyah menjanjikan teori politik islam yang diharapakan mampu menutup keterbatasan-keterbatasan pada teori khilafah dengan merujuk kepada teori kekhilafaan klasik.
Ibnu Taimiyah menegakkan bahwa menegakkan Negara sebagai tugas suci yang dituntut agama dan merupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibnu Taimiyah menolak konsep negara islam yang Universal tunggal, dan sebuah prinsip yang menjadi dasar teori khilafah yang sebelumnya. Sebaliknya, ia justru mendukung formasi beberapa kemerdekaan yang terikat bersama oleh ikatan iman, meskipun berdiri beberapa Negara Islam.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kebutuhan manusia terhadap pemerintahan tidak hanya didasarkan pada wahyu, tetapi juga dierkuat oleh hukum alam atau akal yang melibatkan manusia untuk bergabung dan menjalin kerjasama.
5. Ibn Khaldun
Pengalaman dan pengamatannya yang tajam dalam bidang pemikiran politik yang dituangkan dalam karya ilmiahnya Muqaddimah menawarkan suatu interpretasi yang mendasar terhadap masalah Negara dan kekuasaan.
Sama dengan Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun juga berpendapat bahwa peranan politik dalam kehidupan masyarakat amat penting dan menetukan. Politik mengajarkan suatu mekanisme yang harus digunakan manusia dalam mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Tanpa kehidupan politik kehidupan manusia akan kacau.
Organisasi kelompok merupakan suatu kebutuhan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu perlu adanya Negara untuk mengatrur lalu lintas aktivitas kerjasama untuk mengatur tujuannya. Ibn khaldun berpendapat, orang tidak mungkin menciptakan Negara tanpa dukungan rasa persatuan dan solidaritas yang kuat.
Kehidupan bersama dalam suatu Negara memerlukan penguasa yang ditaati. Tanpa penguasa kehidupan masyarakat akan berada dalam situasi yang kacau, penuh anarki dan pada ujungnya akan mengancam eksistensi manusia. Moralitas cukup sebagai dasar dengan argument bahwa: adalah tidak mungkin seseorang yang tidak bermoral dapat sampai kepada kekuasaan Negara. Kaitan erat antara moralitas dan penguasa ini adalah untuk menghindari pemikiran manusia yang menganggap politik itu licik dan amoral; hubungan penguasa itu adalah hubungan antara yang kuasa dan yang dikuasai; antara yang lemah dan yang kuat; antara yang menindas dan yang tertindas. Oleh sebab itu tugas politik dan tugas penguasa adalah untuk menegakkan moralitas, keadilan, kesejahteraan dan keagamaan.
Untuk mengunduh Progresif edisi perdana silahkan diklik di sini !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar